Perjalanan Menyelam di Mamuju, Sulawesi Barat



Mengunjungi Kota Mamuju sudah kesekian kalinya buat saya, yang merupakan Ibukota dari  Provinsi Sulawesi Barat.  Dua Belas jam  saya dan teman berkendara mobil untuk sampai ke kota  ini yang terkenal dengan perahu mandarnya.  
  
Tiba di Kota Mamuju, kami tidak langsung mencari hotel, namun menyempatkan berkeliling melihat  suasana kota. Lumayan sudah sedikit ramai  dibandingkan beberapa tahun lalu saya ke tempat ini. Kendaraan mulai ramai, beberapa gedung-gedung bertingkat sudah mulai ada dan beberapa sementara pengerjaan.  Anjugan pantainya juga sudah ada, yang saya perhatikan  mirip-mirip  dengan anjungan pantai Losari  Makassar.  Setalah puas berkeliling, kami mencari  penginapan untuk nginap selama tiga hari. Selama  di Mamuju kami akan ditemani oleh Ucha.  

Kota Mamuju nampak dari jauh


Hari kedua di Mamuju, kami melakukan penyelaman malam di depan anjungan pantai Makarrama Mamuju yang jaraknya hanya  kisaran tiga ratus meter dari rumah Ucha.  Hanya penasaran saja dengan cerita si Ucha yang katanya terumbu karanya masih bagus dan air lautnya jernih. 

Tepat pukul 19.30 wita, kami bergegas kepinggir pantai tepat dibelakang sebuah bangunan yang belum selesai.  kata ucha “bangunan ini  nantinya akan dijadikan pusat perbelanjaan”. Disamping mall ini, terdapat jejeran pedagang  kaki lima yang menjajakan makanan dan minuman, sekaligus tempat untuk karaoke, sehingga suasana terasa riuh dengan suara musik dangdut yang saling besahut-sahutan. Pada malam itu,  yang menyelam  hanya empat orang termasuk saya sedangkan yang lainnya menunggu kami bibir pantai yang telah di tanggul. Tujuan kami menyelam saat itu berbeda-berbeda.  Saya menyelam untuk motret biota makro, sedangkan ketiga teman saya untuk menembak ikan. 

Beberapa Jenis Biota yang dijumpai saat menyelam malam
Setelah alat selam di set,  kami mulai melakukan entry dari  bibir pantai, meskipun sedikit kesusahan menurunkan peralatan diving karena pantai yang sudah di tanggul dan banyak tumpukan bebatuan di pinggirnya. Blub...blubb...kamipun  mulai menembus gelapnya laut dengan hanya mengandalkan sumber pencahayaan   dari senter bawah air  yang kami pegang  masing-masing.  Malam itu, saya sangat beruntung karena menjumpai beberapa biota laut yang masuk ke frame kamera saya, salah satunya kuda laut jenis Pygmi Seahorse yang hidup seafans.  Biota  laut ini sangat sangat susah untuk ditemukan dan tidak semua lokasi selam di Indonesia dapat dijumpai, sehingga makhluk kecil ini selalu menjadi buruan para fotografer untuk masuk dalam bidikan lensa kamera mereka.  Saya memotret  species  ini hanya di kedalaman 10 meter . Dua jam  lamanya kami berada di bawah air kemudian mengakhiri penyelaman. Setelah selesai menyelam, kami bergegas balik kerumah Ucha untuk mandi dan membersihkan alat dan setelah itu saya bersama teman  balik ke hotel  isritahat  untuk persiapan menyelam keesokan harinya di Pulau Karampuang.

Dermaga Pulau Karampuang

Pinggir pantai Pulau Karampuang
Pagi yang cerah di hari terakhir di Mamuju,  saya dan teman langsung kedermaga Pelelangan Ikan (TPI) lokasi  kami nantinya berangkat  menuju palau Karampuang.  Setelah semua  pada berkumpul, kami segera  bergegas menuju  pulau tersebut  yang ditempuh 15 menit mengunakan speed boat bermesin 200 PK. Dalam perjalanan,  saya memperhatikan  pulau dengan luas 6,37 km persegi ini berupa perbukitan dan terbentuk dari bebatuan kapur. Hampir semua pantainya dikelilingi tebing-tebing  batu karang  yang tinggi. Hanya sesekali diapit oleh tumbuhan bakau di pesisirnya. Hampir tidak dijumapi tanah datar. Pulau ini mempunyai dermaga sangat bagus dan tertata rapi  dengan panjang  kisaran 300 meter yang menjorok sampai ke laut yang dalam.  Dermaga ini sengaja di bangun untuk peruntukan pariwisata sehingga tidak ada kapal-kapal yang sandar di dermaga ini. 


Pengunjung
Jalan yang sudah di beton
 Semakin penasaran, saya masuk lebih jauh kedalam pulau. Saya jumpai diberapa tempat terdapat  beberapa jejeran gazobo dan beberapa bangunan yang di peruntukan untuk wisatawan namun kondisinya sedikit tidak terawat dan telah dimakan usia. Kondisi jalanan  sudah di rabat beton sehingga memudahkan untuk mengeliligi sebahagian pulau yang  sangat luas ini. Tidak ada rumah-rumah penduduk  di sekitaran tempat ini.  Perkampungan penduduk  terletak di sebelah  utara mengarah kebarat pulau.  Menurut salah seorang warga yang saya jumpai,  jika mau kepemukiman penduduk bisa mengunakan ojek motor yang di sewakan.    Beberapa  warga sedang menjajakan dagangnya ke pengunjung yang waktu itu sangat ramai karena hari libur. Terdapat pantai berpasir putih namun panjangnya hanya  kisaran 50 meter. Mungkin hanya ini satu-satunya pantai di pulau ini, yang menjadi tempat beberapa warga pulau untuk menjual makanan dan menyewakan "bale-bale" ke pengunjung.


Underwater Pulau Karampuang
Setelah  berkeliling pulau, saya kembali ke dermaga untuk siap-siap melakukan penyelaman. Setalah semua alat terpasang, kami langsung turun menyelam yang entrinya langsung dari dermaga.  Jernihnya air laut dan relatif tidak berarus sehingga kami sangat menikmati penyelaman.  Pada saat menyelam,  saya melihat hiu jenis white tip,  gerombolan ikan kakatua, dan beragan jneis ikan karang dan pelagis. Kondi terumbu karang pun masih sangat baik  dan jenisnya bervaritif. Tipe kontur  dasar perairan berupa tebing-tebing karang yang langsung di batasi oleh laut dalam.  Waktu kami yang terbatas sehingga saat itu kami hanya bisa menyelam tiga kali  dititik penyelaman yang sama kemudian balik lagi ke Kota Mamuju. 



Sesampainya di rumah Ucha, saya menyempatkan untuk berjalan-jalan ke anjugan pantai Manakarra untuk melihat terbenamya matahari. Namun saya kurang beruntung hari itu karena cuaca lagi mendung.  Setelah semua urusan selesai,  saya bersama teman  pada malam harinya langsung balik lagi ke  Makassar.


 Nekss… saya akan kembali lagi mengeksplor keindahan bawah laut pesisir kabupaten mamuju dan pulau karampuang terutama.


Berkunjung ke Hukae, Kampung Moronene



Anak Suku Moronene, di Kampung Hukaea
“Hukaea merupakan  kampung Suku Moronene yang berada dalam kawasan Taman Nasional Rawaaopa Watumohai yang membatasi Kabupaten Bombana dan Konawe Selatan. Kampung ini secara administrasi berada dalam wilayah Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara”.


Suku Moronene  adalah salah satu suku tertua yang mendiami jazirah  Sulawesi pada bagian ujung selatan Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kabupaten Bombana. Suku ini merupakan  empat suku besar yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara setelah suku Tolaki, Muna, dan Wolio.   “Moronene” terdiri dari dua kata yakni “moro” yang berarti sejenis/serupa dan “nene” berarti sejenis tumbuhan pesam yang banyak dijumpai di pinggir sungai dan hidup berkelompok yang kulitnya bisa dijadikan pengikat. Orang  Moronene mempunya adat istiadat dan bahasa tersendiri sebagai alat komunikasi sehari-hari.  

 .*****
Rasa penasaranlah yang membawa saya untuk pergi mengunjungi  kampung Moronene ini. Dalam benak saya, dikampung inilah saya masih bisa menjupai orang Moronene yang masih mempertahakan tradisi dan budayanya secara turun temurun dan belum bersentuhan dengan modernitas.  Letaknya yang  terpencil,  dalam kawasan Taman Nasional serta jauh dari aktifitas perkotaan semakin menambah keyakinan saya akan kampung ini. Apalagi beberapa waktu lalu, pemerintah Kabupaten Bombana telah menetapkan Hukaea sebagai Kampung adat Suku Moronene sehingga semakin menambah rasa penasaran saya.


Palang Perlintasan memasuki Kawasan Taman Nasional Rawaaopa Watumohai
Perjalanan  saya selama  empat hari di Sulawesi tenggara, kali ini menjadikan Hukaea sebagai salah satu tujuan  yang wajib untuk saya kunjungi.  Setelah sehari menghabiskan waktu berkeliling kota Kendari, saya melanjutkan perjalanan menuju Konawe Selatan yang mengarah ke Kabupaten Bombana. Perjalanan dari Kota Kendari, saya jalani bersama rekan  dengan berkendara roda dua. Jalan berkelok di Wolasai yang sesekali diselimuti kabut,  melewati ibukota Konawe Selatan yang sedikit gelap karena lampu penerangan jalan yang padam harus kami lewati. Dua jam perjalanan sampailah kami di rumah teman yang akan menjadi tempat menginap kami sebelum melanjutkan perjalanan ke esokan harinya.

Pagi yang cerah, ditandai munculnya sinar matahari  yang hanya menampakan rona merahnya dengan gradasi biru langit yang diselimuti awan.  Dari kejauahan nampak para pekerja jalan yang sedang memanaskan mesin-mesin mobil dan siap melanjutkan pengaspalan jalan. Di semping kiri dan kanan jalan, hamparan persawahan yang siap untuk ditumbuhi padi. Saya dan teman  sejenak menikmati hawa sejuk dan dinginya udara pagi sambil duduk di pinggir jalan  yang merupakan jalan antar Kabupaten, menghubungkan Kabupaten Bombana dan  Kota Kendari . 

Perjalanan Menu Kampung Hukaea
Pukul 08.05 menit, saya dan teman ditemani dua orang yang baru saya kenal, sudah siap berangkat menuju kampung Hukaea dengan mengunakan kendaraan bermotor.  Kedua teman baru saya tersebut lah yang  akan menjadi pemandu saya menuju kampung Moronene. Jalan yang teraspal mulus dengan  trek lurus, membuat perjalanan ini  tidak terasa sehigga  kami sampai disebuah persimpangan jalan yang tidak beraspal, sedikit tertutup alang-lalang dan berlumpur.  Disamping kiri kanan jalan yang mirip jalan tani tersebut adalah padang ilalang yang sangat luas yang hanya dibatasi pegunungan yang tampak terlihat samar-samar.  Menurut teman, Jalan ini lah yang akan kami lalui untuk menuju kampung Hukaea yang berjarak 8 km dari pingir jalan perlintasan kawasan  Taman Nasional Rawa Aopa.  

Sepanjang perjalanan kami harus melewati jalan berlumpur yang sesekali terdapat kubangan air dan licin yang  Jika tidak hati-hati anda akan terjatuh, seperti yang sempat saya alami.  Saya sempat terjatuh sehinga membuat baju dan celana kami kotor. Meskipun sempat terjatuh, kami tidak patah semagat untuk terus melanjutkan perjalanan.  Saya sarankan jika berniat  berkunjung ke tempat ini sebaiknya jangan pada saat musim hujan, karena akan sangat susah  mengakses kampung ini.

Jalan Menju Kampung Hukaea
Pemandangan dalam kawasan TN. Rawaaopa
                Terik matahari seorah-olah membakar kulit  yang sudah mulai kusam dan kotor akibat terjatuh tadi sudak tidak kami pedulikan lagi.  Satu jam berkendara sampailah di kampung Hukaea. Sebelum sampai di kampung ini,  kami terlebih dahulu melewati sebuah pekuburan yang konon kabarnya adalah nenek buyut orang Hukaea. Tidak ada tugu selamat datang atau pintu gerbang yang menandakan anda sudah memasuki perkampungan ini.  Yang nampak hanya pohon-pohon  mente yang tumbuh di setiap sisi ruas jalan yang terkadang hampir menutupi bahu jalan.  Suasana kampung terasa   sepi, hanya sesekali saya mendapati anak-anak sedang bermain di pinggir jalan.   Rumah-rumah agak  berjarak dari satu rumah ke rumah lain yang jaraknya kisaran 20-50 meter.  Saya memperhatikan dibeberapa rumah-rumah warga  terdapat pintu gerbang yang berbentuk atap rumah yang terbuat dari atap rumbia. Hal ini menunjukan identitas warga disini bahwa mereka adalah orang Suku Moronene.

Di depan pintu Gerbang rumah Orang Moronene
          Setelah melewati beberapa rumah, tibalah kami di sebuah warung untuk membeli air minum sekaligus beristrahat sejenak.  Melihat kami sebagai orang baru di Kampung ini, dengan ramahnya sang penjaga warung mempersilahkan kami masuk kerumahnya yang berbentuk rumah batu yang beralaskan semen dan beratapkan seng tersebut. Kami  masuk kerumah sang bapak yang sehari-harinya bekerja sebagai pengrajin kayu dan berdagang tersebut. Kami sempat berbincang sebentar. Dari perbincangan kami tersebut,  kami mendapati bahwa orang Hukaea menyebut  kepala kampung mereka  sebagai “tobu”.  Setelah itu sang bapak menunjukan letak rumah “tobu” yang jaraknya kisaran 100 meter dari rumahnya.
Rumah "Tobu"

Dengan berkendara, sampailah kami di rumah  “tobu” yang berbentuk rumah panggung tersebut.  Sedikit berbeda dengan rumah lainnya.  Atap rumah “tobu” terbuat dari alang-alang yang telah di anyam.  Rumah panggung tersebut sangat sederhan yang  hanya  beralaskan papan dan tikar. Dengan senang hati kami diterima oleh “tobu” beserta istrinya.  Tanpa basa basi  kami  berempat langsung memperkenalkan diri sekaligus memberitahukan maksud dan tujuan  kami ke  kampung ini.   Hampir sejam kami tempat ini,  sang “tobu” banyak bercerita tentang asal muasal Kampung Hukaea sebagai kampung tertua suku Moronene di daratan Sulawesi Tenggara, Serta bagaimana mereka terusir dari kampung mereka kerana di angap menyebot masuk dan tinggal di dalam kawasan Taman Nasional sehingga menyebabkan sang “ tobu” dan beberapa warga lainnya masuk penjara.

"Tobu" bersama Istrinya
Menurut sang ‘Tobu” Hukaea berasal dari bahasa Moronene yang terdiri dari dua suku kata yakni  Huka : pohon melinjo dan ea : besar. Konon kabarnya pohon tersebutlah yang menjadi tempat persembuanyian orang-orang Moronene dari gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzzakar.  Lanjutnya lagi, ada aturan adat di masyarakat Hukaea yakni jika seorang perempuan hukaea kawin dengan laki-laki diluar orang hukaea maka mereka tidak boleh tinggal di kampung hukaea. Dan jika laki-laki orang hukaea kawin dengan perempuan diluar orang hukaea mereka boleh tinggal di kampung hukaea.  Saat ini Hukae  terbagi dua yakni Hukae dalam dan Hukae Luar. Menurutnya, adanya dua kampung Moronene ini akibat dari relokasi yang dilakukan pemerintah yang melarang masyarakat tinggal dalam kawasan Taman Nasional. Sehingga orang-orang Hukae harus terusir dari Kampung mereka yang sudah turun temurun mereka diami. Orang-orang yang masih tinggal di dalam kawasan inilah yang masih bertahan dan memilih tetap tinggal di tempat ini. 

Rumah  orang Hukaea
Dari hasil pengamatan dan penelusuran saya disetiap sudut kampung yang berbentuk leter U dengan jumlah penduduk lebih dari seratus kepala keluarga ini, nampak terlihat sepi. Mungkin karena rumah yang agak berjarak sehingga tidak nampak aktifitas Masyarakatnya. Saya perhatikan sebahagian masyarkatnya masih hidup  sederhana dan sebahagiannya lagi sudah sedikit moderen. Saya sudah menjumpai kendaraan bermotor dan traktor yang digunakan untuk menggarap sawah di Kampung ini. Yang tinggal dikampung ini juga sudah tidak seutuhnya orang Moronene, seperti bapak yang saya jumpai yang berasal dari Kab. Soppeng Sulawesi Selatan.  Mata pencaharian utama penduduknya adalah bertani dengan mengarap sawah tada hujan. Pada umumnya beragama Islam. Ditengah-tangah kampun terdapat sebuah rumah  yang dibagun pemerintah setempat sebagai simbol rumah adat orang Hukaea. Tidak jauh dari tempat tersebut terdapat Sekolah Dasar yang hanya berdidinkan kayu.  Yang unik dari kampung ini adalah makanan pokok masyarakatnya  adalah “ondo” sejenis umbi hutan yang beracun yang banyak di jumpai di hutan-hutan.
Anak-anak Hukaea yang baru Pulang Mencuci

"Ondo" yang ditumbuk , sebagai makanan Pokok

Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 16.00 wita, saya bersama ketiga rekan saya pamitan ke Kepala Kampung. Namun sebelum itu,  kami harus menigisi buku tamu yang telah disiapkan. Rintik hujan tidak  menyurutkan kami untuk segera meninggalkan kampung ini kembali ke rumah teman,  kemudian saya bersama teman seperjalanan saya melanjutkan perjalanan  menuju Kasipute, Ibukota Kabupaten Bombana.

Mengenal lebih dekat Ikan Nemo

                                 
"Mempunyai warna yang cerah dengan pola dan corak yang menarik. Ukuran  tubuhnya berukuran kecil seperti halnya dengan ikan sebangsanya. Sesekali mereka akan menghapiri kita, seolah-olah mengajak untuk bermain bersama mereka. Mempunyai perilaku yang pemalu namun mengemaskan. Pada umumnya mereka hidup berkelompok dan sangat mengantungkan hidupnya dengan  hewan laut  lainnya. 

Ikan Nemo merupakan makhluk yang hidup di laut yang paling terkenal dikalangan masyarakat. Jika kita disuruh menyebut salah satu  biota di laut, maka yang langsung terbesit dikepala salah satunya adalah ikan nemo. Apalagi setelah ikan ini  di kisahkan dalam filem animasi yang berjudul "Finding Nemo" yang dirilis di tahun 2003 dan sampai sekarang masih sering diputar dibeberapa stasiun TV nasional. Begitu terkenalnya ikan ini, salah seorang teman, yang  awalnya tidak begitu tertarik dengan laut, tiba-tiba datang ke saya dan pengen  belajar menyelam.  " Wee...ajari ka' dulu menyelam ehh... mau ka' liat itu ikan nemo di dalam laut. Seperti apa itu perilakunya kalo di dalam laut. Apakah seperti yang diceritakan di filem nemo itu" tuturnya dengan logat bahasa Makassarnya. 

Ikan nemo masuk dalam kategori ikan hias yang bernilai ekonomis. Ikan ini sudah di perdangkan, bahkan di ekspor  sampai  ke luar negeri. Akibat permintaan pasar yang besar, di  beberapa wilayah di Indonesia, beberapa spesies dari ikan ini   mulai terancam keberadaanya akibat ekspolitasi yang berlebihan. Ikan yang hanya beraktifitas di siang hari ini, sangat mudah  dijumpai tanpa harus susah payah melihatnya langsung di habitat aslinya di laut. Di rumah, di perkantoran dan bahkan fasilatas umum seperti  bandar udara  yang mempunyai  akuarium laut, dapat melihat ikan ini terkurung  bersama biota laut lainnya.

Dikalangan pencinta ikan hias, Ikan ini menjadi target buruan untuk dijadikan penghuni akuarium.  Bagi para penyelam yang hobi  fotografi bawah laut, nemo merupakan salah satu  biota faforit  untuk  selalu masuk dalam bidikan lensa kamera mereka. 
*****

Ikan Nemo mempunyai beberapa penamaan popular sehingga terkadang membingungkan.  Dikalangan pencinta ikan hias, ikan ini biasa disebut ikan badut atau ikan giru.  Para penyelam menyebutkan ikan nemo karena ikan ini  hidup bersimbiosis dengan rumahnya yakni anemon. Dikalangan Peneliti ikan ini lebih dikenal dengan sebutan  Clown fish atau ikan amphiprion.

Menurut Gerry Allen, Salah seorang peneliti dibidang kelautan menyebutkan bahwa ikan nemo mempunyai duapuluh sembilan jenis yang penyebarannya sangat terbatas. Hanya dapat dijumpai di kawasan Indo Pasifik.  Kuiter dan Tonukoza dalam bukunya Indonesia reef fishes menyebutkan bahwa: jenis ikan ini hanya  terdapat duabelas jenis yang tersebar diseluruh perairan Indonesia. 

 
Jenis-jenis ikan nemo yang dapat dijumpai di Indonesia

Dalam Klasifikasi taksonomi, ikan nemo merupakan keluarga dari  ikan-ikan damselfish atau ikan Batok.  Terdiri dari dua marga  yakni  Amphiprion dan Premnas. Pembeda dari kedua marga ini  yang peling mencolok secara kasat mata adalah terdapatnya dua buah duri memanjang  di bawah mata  ikan premnas  sedangkan amphiprion tidak mempunyai duri. Selain itu,  Premnas ukuran tubuhnya  relatif lebih besar dibandingkan  dari jenis ikan amphiprion. Dari duapuluh sembilan jenis ikan nemo yang terindetifikasi , dupuluh delapan adalah sepesies dari Amphiprion dan hanya satu spesies dari  Premnas .

 Di alam bawah laut, Clownfish menghuni  dasar laut di area terumbu karang dan substrat pasir dikisaran kedalaman satu sampai tiga puluh meter. Ikan ini dapat dijumpai  hidup dicelah-celah tentakel anemon yang menjadi rumahnya. Clownfish melakukan simbiosis mutualisme yang sama-sama saling menguntungkan dengan anemon.  Dapat dikatakan bahwa ikan nemo tidak dapat hidup tanpa anemon dan begitupun sebaliknya. Keuntungan dari simbiosis ini adalah Ikan nemo dapat terhindar dari pemangsaan dari predatornya dan mendapatkan sumber makanan dari anemon. Sedangkan Anemon diuntungkan dengan pergerakan nemo yang terus menerus disela-sela tentakelnya, menyebabkan kotoran dan endapan pasir teraduk sehingga anemon terhindar dari iritasi. Selain itu, membantu anemon dalam proses foto sintesis.

Ikan nemo dan anemonnya
 
Ikan Nemo mempunyai perilaku  dengan menghabiskan sebahagian besar hidupnya di celah-celah tentakel anemon  dan  di sekitaran anemon.   Wilayah tersebu merupakan  daerah teritorialnya dan mereka akan mempertahankan dari predator dan  hewan penggangu lainnya.  Jika anemon berpindah tempat maka mereka  juga ikut berpindah tempat. 

Ikan Nemo berkembang biak dengan cara bertelur.  Telur-telur ikan ini disimpan di bawah tentakel anemon atau di substrat dimana anemon melekat. Sekali bertelur dapat mencai tigaratus sampai tujuhratus butir telur. Selam dalam proses bertelur, ikan jantan bertugas  penuh untuk memelihara dan menjaga sarang dan telur.  Sementara itu,  induk betina berkelana untuk  mencari makan dan hanya sesekali saja menyinggahi sarangnya. Ikan nemo dalam kondisi tertentu mengalami perubahan kelamin. Umumnya ikan ini hidup berpasangan dengan satu jantan dan satu betina. Namun jika sang jantan mati  maka satu ekor dari betina dewasa akan berubah kelamin menjadi jantan dewasa baru. Begitupun sebaliknya. 

Ikan nemo dan telur-telurnya. foto diambil dari internet
Tentang Anemon

Anemon adalah hewan laut dan dalam klasifikasi taksonomi  termasuk dengan kelas Anthozoa bersama dengan terumbu karang.  Anemon  dapat dijumpa hidup dicelah-celah karang dan substrat berpasir.   Lebih dari seribu sepesies   yang tersebar di seluruh perairan laut di dunia. Dari sekian banyak spesies tersebut, tidak semua  menjadi habitat bagi ikan nemo.  Hanya terdapat beberapa  spesies ikan ini yang dapat didiami oleh ikan nemo.

 Anemon mempunyai racun yang disematkan ditentakelnya yang menjadi senjata dari pradotornya. Kadar racun masing-masing anemon berbeda-beda,  tergantung jenis anemonnya sehingga clownfish tidak dapat hidup disemua jenis anemon. Salah satu dari jenis ikan ini yakni Amphiprion clarkii merupakan spesies yang paling banyak dijumpai hidup dibeberapa jenis anemon. Hal ini disebabkan karena jenis ikan ini dapat menghasilkan lendir sendiri  yang membungkus tubuhnya sehingga dapat melindunginnya dari segatan anemon.  Untuk  merasakan kadar racun anemon, kita dapat mencoba menyentuh tentakelnya dengan lapisan kulit bagian luar. Kulit akan terasa  seperti tersengat dan melengket di tentakel anemon. Bahkan ada beberapa jenis anemon seperti heteractis aurora  mempunyai kadar racun yang tinggi, sehingga jika tersengat  lapisan kulit bagian luar maka  kulit akan melepuh seperti terbakar.
Beberapa jenis anemon yang menjadi rumah bagi ikan nemo

 Tidak hanya ikan nemo  yang hidup berasosiasi dengan anemon.  Ada beberapa jenis makhluk lainya yang bersimbiosis dengan anemon seperti  Ikan-ikan batok dari jenis  dasylus, kepiting dan udang. Terkadang kita dapat menumukan makhluk-makhluk laut tersebut hidup berdamping dalam satu jenis anemon dan mereka tidak merasa terganggu satu sama lainnya.
Biota laut lain yang hidup berasosiasi dengan anemon