Anak Suku Moronene, di Kampung Hukaea |
“Hukaea merupakan kampung Suku
Moronene yang berada dalam kawasan Taman Nasional Rawaaopa Watumohai yang
membatasi Kabupaten Bombana dan Konawe Selatan. Kampung ini secara administrasi berada dalam
wilayah Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara”.
Suku Moronene adalah salah satu suku tertua yang mendiami jazirah
Sulawesi pada bagian ujung selatan
Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kabupaten Bombana. Suku ini merupakan empat suku besar yang ada di Provinsi
Sulawesi Tenggara setelah suku Tolaki, Muna, dan Wolio. “Moronene”
terdiri dari dua kata yakni “moro” yang berarti sejenis/serupa dan “nene”
berarti sejenis tumbuhan pesam yang banyak dijumpai di pinggir sungai dan hidup
berkelompok yang kulitnya bisa dijadikan pengikat. Orang Moronene mempunya adat istiadat dan bahasa
tersendiri sebagai alat komunikasi sehari-hari.
.*****
Rasa penasaranlah
yang membawa saya untuk pergi mengunjungi
kampung Moronene ini. Dalam
benak saya, dikampung inilah saya masih bisa menjupai orang Moronene yang masih
mempertahakan tradisi dan budayanya secara turun temurun dan belum bersentuhan
dengan modernitas. Letaknya yang terpencil,
dalam kawasan Taman Nasional serta jauh dari aktifitas perkotaan semakin
menambah keyakinan saya akan kampung ini. Apalagi beberapa waktu lalu,
pemerintah Kabupaten Bombana telah menetapkan Hukaea sebagai Kampung adat Suku
Moronene sehingga semakin menambah rasa penasaran saya.
Palang Perlintasan memasuki Kawasan Taman Nasional Rawaaopa Watumohai |
Perjalanan saya selama empat hari di Sulawesi tenggara, kali ini
menjadikan Hukaea sebagai salah satu
tujuan yang wajib untuk saya kunjungi. Setelah sehari menghabiskan waktu berkeliling
kota Kendari, saya melanjutkan perjalanan menuju Konawe Selatan yang mengarah
ke Kabupaten Bombana. Perjalanan dari Kota Kendari, saya jalani bersama rekan dengan berkendara roda dua. Jalan
berkelok di Wolasai yang sesekali diselimuti kabut, melewati ibukota Konawe Selatan yang sedikit
gelap karena lampu penerangan jalan yang padam harus kami lewati. Dua
jam perjalanan sampailah kami di rumah teman yang akan menjadi tempat menginap
kami sebelum melanjutkan perjalanan ke esokan
harinya.
Pagi yang
cerah, ditandai munculnya sinar
matahari yang hanya menampakan rona merahnya
dengan gradasi biru langit yang diselimuti awan. Dari
kejauahan nampak para pekerja jalan yang sedang memanaskan mesin-mesin mobil
dan siap melanjutkan pengaspalan jalan. Di semping kiri dan kanan jalan,
hamparan persawahan yang siap untuk ditumbuhi padi. Saya dan teman sejenak menikmati hawa sejuk dan dinginya udara pagi sambil
duduk di pinggir jalan yang merupakan jalan
antar Kabupaten, menghubungkan
Kabupaten Bombana dan Kota Kendari .
Perjalanan Menu Kampung Hukaea |
Pukul 08.05
menit, saya dan teman ditemani dua orang yang baru saya kenal, sudah siap
berangkat menuju kampung Hukaea dengan mengunakan kendaraan bermotor. Kedua teman baru saya tersebut lah yang akan menjadi pemandu saya menuju kampung
Moronene. Jalan yang teraspal mulus dengan trek lurus, membuat
perjalanan ini tidak terasa sehigga kami sampai disebuah persimpangan jalan yang
tidak beraspal, sedikit tertutup alang-lalang dan berlumpur. Disamping kiri kanan jalan yang mirip jalan
tani tersebut adalah padang ilalang yang sangat luas yang hanya dibatasi
pegunungan yang tampak terlihat samar-samar. Menurut teman, Jalan ini lah yang akan kami
lalui untuk menuju kampung Hukaea yang berjarak 8 km dari pingir jalan perlintasan
kawasan Taman Nasional Rawa Aopa.
Sepanjang
perjalanan kami harus melewati jalan berlumpur yang sesekali terdapat kubangan
air dan licin yang Jika tidak hati-hati
anda akan terjatuh, seperti yang sempat saya alami. Saya sempat terjatuh sehinga membuat baju dan
celana kami kotor. Meskipun sempat
terjatuh, kami tidak patah semagat untuk terus melanjutkan perjalanan. Saya sarankan jika berniat berkunjung ke tempat ini sebaiknya jangan pada saat musim hujan, karena akan sangat susah mengakses kampung ini.
Jalan Menju Kampung Hukaea |
Pemandangan dalam kawasan TN. Rawaaopa |
Terik
matahari seorah-olah membakar kulit yang
sudah mulai kusam dan kotor akibat terjatuh tadi sudak tidak kami pedulikan
lagi. Satu jam berkendara sampailah di
kampung Hukaea. Sebelum sampai di kampung ini,
kami terlebih dahulu melewati sebuah pekuburan yang konon kabarnya
adalah nenek buyut orang Hukaea. Tidak ada tugu selamat datang atau pintu
gerbang yang menandakan anda sudah memasuki perkampungan ini. Yang nampak hanya pohon-pohon mente yang tumbuh di setiap sisi ruas jalan
yang terkadang hampir menutupi bahu jalan.
Suasana kampung terasa sepi,
hanya sesekali saya mendapati anak-anak sedang bermain di pinggir jalan. Rumah-rumah agak berjarak dari satu rumah ke rumah lain yang
jaraknya kisaran 20-50 meter. Saya memperhatikan
dibeberapa rumah-rumah warga terdapat
pintu gerbang yang berbentuk atap rumah yang terbuat dari atap rumbia. Hal ini
menunjukan identitas warga disini bahwa mereka adalah orang Suku Moronene.
Di depan pintu Gerbang rumah Orang Moronene |
Setelah
melewati beberapa rumah, tibalah kami di sebuah warung untuk membeli air minum
sekaligus beristrahat sejenak. Melihat
kami sebagai orang baru di Kampung ini, dengan ramahnya sang penjaga warung mempersilahkan kami masuk kerumahnya yang berbentuk rumah batu yang beralaskan
semen dan beratapkan seng tersebut. Kami masuk kerumah sang bapak yang sehari-harinya
bekerja sebagai pengrajin kayu dan berdagang tersebut. Kami sempat berbincang sebentar.
Dari perbincangan kami tersebut, kami mendapati
bahwa orang Hukaea menyebut kepala
kampung mereka sebagai “tobu”. Setelah itu sang bapak menunjukan letak rumah “tobu”
yang jaraknya kisaran 100 meter dari rumahnya.
Rumah "Tobu" |
Dengan
berkendara, sampailah kami di rumah
“tobu” yang berbentuk rumah panggung tersebut. Sedikit berbeda dengan rumah lainnya. Atap rumah “tobu” terbuat dari alang-alang
yang telah di anyam. Rumah panggung
tersebut sangat sederhan yang hanya beralaskan papan dan tikar. Dengan senang hati
kami diterima oleh “tobu” beserta istrinya. Tanpa basa basi kami berempat langsung memperkenalkan diri sekaligus
memberitahukan maksud dan tujuan kami ke
kampung ini. Hampir
sejam kami tempat ini, sang “tobu”
banyak bercerita tentang asal muasal Kampung Hukaea sebagai kampung tertua suku
Moronene di daratan Sulawesi Tenggara, Serta bagaimana mereka terusir dari
kampung mereka kerana di angap menyebot masuk dan tinggal di dalam kawasan Taman
Nasional sehingga menyebabkan sang “ tobu” dan beberapa warga lainnya masuk
penjara.
"Tobu" bersama Istrinya |
Menurut sang ‘Tobu”
Hukaea berasal dari bahasa Moronene yang terdiri dari dua suku kata yakni Huka : pohon melinjo dan ea : besar. Konon kabarnya pohon tersebutlah yang menjadi tempat persembuanyian
orang-orang Moronene dari gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzzakar. Lanjutnya lagi, ada aturan adat di masyarakat
Hukaea yakni jika seorang perempuan hukaea kawin dengan laki-laki diluar orang
hukaea maka mereka tidak boleh tinggal di kampung hukaea. Dan jika laki-laki
orang hukaea kawin dengan perempuan diluar orang hukaea mereka boleh tinggal di
kampung hukaea. Saat ini Hukae terbagi dua yakni Hukae dalam dan Hukae Luar.
Menurutnya, adanya dua kampung Moronene ini akibat dari relokasi yang dilakukan
pemerintah yang melarang masyarakat tinggal dalam kawasan Taman Nasional.
Sehingga orang-orang Hukae harus terusir dari Kampung mereka yang sudah turun
temurun mereka diami. Orang-orang yang masih tinggal di dalam kawasan inilah
yang masih bertahan dan memilih tetap tinggal di tempat ini.
Rumah orang Hukaea |
Dari hasil pengamatan
dan penelusuran saya disetiap sudut kampung yang berbentuk leter U dengan jumlah penduduk lebih dari seratus kepala keluarga ini, nampak terlihat sepi. Mungkin karena rumah yang agak berjarak sehingga tidak nampak aktifitas Masyarakatnya. Saya perhatikan sebahagian masyarkatnya masih hidup sederhana dan sebahagiannya lagi sudah sedikit
moderen. Saya sudah menjumpai kendaraan bermotor dan traktor yang digunakan
untuk menggarap sawah di Kampung ini. Yang tinggal dikampung ini juga sudah tidak seutuhnya orang Moronene, seperti bapak yang saya jumpai yang berasal dari Kab. Soppeng Sulawesi Selatan. Mata pencaharian utama penduduknya adalah
bertani dengan mengarap sawah tada hujan. Pada umumnya beragama Islam. Ditengah-tangah
kampun terdapat sebuah rumah yang dibagun
pemerintah setempat sebagai simbol rumah
adat orang Hukaea. Tidak jauh dari tempat tersebut terdapat Sekolah Dasar yang
hanya berdidinkan kayu. Yang unik dari
kampung ini adalah makanan pokok masyarakatnya adalah “ondo” sejenis umbi hutan yang beracun
yang banyak di jumpai di hutan-hutan.
Anak-anak Hukaea yang baru Pulang Mencuci |
"Ondo" yang ditumbuk , sebagai makanan Pokok |
Tidak terasa waktu
sudah menunjukan pukul 16.00 wita, saya bersama ketiga rekan saya pamitan ke
Kepala Kampung. Namun sebelum itu, kami
harus menigisi buku tamu yang telah disiapkan. Rintik hujan tidak menyurutkan kami untuk segera meninggalkan
kampung ini kembali ke rumah teman, kemudian saya bersama teman seperjalanan saya melanjutkan perjalanan menuju Kasipute, Ibukota Kabupaten Bombana.