Perjalanan
ini sebenarnya tidak begitu terencana dengan baik, alias dadakan ;D…. Saya bersama
teman-teman yang pagi itu baru pulang dari Pulau Sagori, kemudian kepikiran
untuk pergi ke desa Tangkeno. Untuk saya
sendiri memang sudah ada dalam lists obyek-obyek wisata yang saya akan kunjungi selama
berada di pulau yang kaya akan bahan galian nikel ini. Selain itu, rasa
penasaran akan perkembangan desa Tangkeno, apalagi setelah di tetapkan sebagai desa wisata dan
setelah dua tahun lamanya tidak
berkunjung kesana. Saya yang tinggal di perantauan ini, harus
memanfaatkan waktu dengan baik karena hanya sekali dalam setahun saya bisa mudik ke kampung, Itu pun
hanya pada saat lebaran. Mumpung ada kawan
sekampung yang senasip dengan saya dan suka traveling, ide ini pun saya
tawarkan.
Sebelum
cerita ini saya lanjutkan terlebih dahulu saya mau menggambarkan tentang Desa
tangkeno….:D
|
Desa Tangkeno |
Desa Tangkeno menarik untuk dikunjungi karena merupakan sebuah
perkampungan yang terletak di kaki gunung Sabampolulu di atas ketinggian 1500
meter dari permukaan laut. Desa ini berada dalam wilayah administrasi kecamatan
Kabaena Tenggah dengan ibukota kecamatan Lengora. Ketika anda berada disana,
anda akan menyaksikan panorama alam pegunungan serta merasakan hawa sejuk dan dinginnya suhu udara
disana. Tangkeno juga merupakan kampung tertua dan
pertama di Kabaena yang dihuni oleh suku
etnis Moronene Kabaena, sehingga budaya dan seni tradisi masih terjaga dari
pengaruh budaya moderen. Terdapat juga sebuah situs sejarah berupa benteng
pertahanan dan sebuah air terjun yang tingginya mencapai 180 meter. Desa ini juga
telah ditetapkan sebagai desa wisata oleh pemerintah Kabupaten Bombana
baru-baru ini.
Lanjut cerita….!!!
;D
|
Pulau Sagori |
Kunjungan
ke Pulau Sagori yang hanya sekitar 2 jam lamanya, menyisakan raut wajah penuh
kebahagiaan dan rasa terpuaskan melihat hamparan pasir putih Pulau Sagori yang oleh sebagian
teman saya ada yang baru menginjakan kakinya di
pulau yang sangat eksotis tersebut. Sambil
membalikan motor untuk mengarah pulang ke rumah masing-masing, seketika itu pun
tawaran saya di ia kan oleh mereka. Singkat
cerita… kemudian kami janjian untuk
berkumpul di rumah Okto tepat pada pukul
10.00.
|
Inidia wajah teman2 perjalanan ke Tangkeno ;D |
Waktu
yang di nanti pun tiba…!!! setelah teman-teman berkumpul semua, lalu bergaslah
kami menuju ke dasa wisata tersebut
dengan mengunakan tiga buah kendaraan bermotor dan saling berboncengan dari
desa Batuawu. Ohh iya, teman-teman saya
yang ikut perjalanan ini yakni Arief,
Okto, Ulu, Sadril dan satu-satunya wanita yang ikut yakni Rian manggada
ndoka..di Facebooknya..…hehehe…
|
Ini dia Kampung kami Desa Batuawu... |
Perjalanan kami dari desa Batuawu terasa bigitu mulus
karena kondisi jalan yang ter aspal.
Namun sampai di sebuah jembatan dekat pendakian (masih di wilayah desa Batuawu)
kondisi jalan sudah berubah menjadi jalan berkerikil. Menurut kawan saya Ulu, kondisi jalan seperti
ini lah yang akan kami lalui sepanjang perjalanan menuju Tangkeno. Bisa
dibayangkan kann..betapa capeknnya nanti kami…apa lagi klo ada kendaraan lain
di depan, beuhhh….!!! Debunya minta ampunn….;D.
Sebenarnya ada alternatif jalur untuk capat menuju ke Tangkeno yakni
dari Batuawu memotong jalan menuju desa Olondoro lalu ke Tangkeno. Jalan ini
baru dibuka oleh salah satu perusahaan tambang di Kabaena. Namun menurut kawan
saya Ulu, jalan tersebut sangat mendaki sekali, sehingga saya memutuskan tidak
mengambil alternatif tersebut mengingat
motor yang sudah tua!!! Kan kasian, takutnya ndak kuat mendaki…heheheh!!!!
10
menit berkendera, lalu kami memasuki sebuah perkampungan yang bernama desa Langkema. Disini kami harus terpisah karena Arif dengan
boncengannya Okto harus singgah terlebih dahulu kerumah kepala Desa untuk
mengantarkan surat pemberitahuan halal
bi halal di desa Batuawu nanti yang akan dihadiri oleh wakil bupati Bombana. Saya dan Ulu selaku yang membonceng lalu
memperlambat laju kendaraan dengan harapan mereka bisa menyusul kami di jalan nantinya. Tidak lama melewati Langkema, kemudian kami memasuki sebuah perkampungan yang bernama Kelurahan
Teomokole dengan melewati sebuah jembatan penyebrangan sungai lakambula. Lalu tidak
lama berselang Arief dan okto akhirnya
bisa menyusul kami dari belakang.
|
Desa Langkema... |
|
Jembatan penyebrangan sungai Lakambula di Teomokole.. |
Setelah
melewati rumah-rumah penduduk di Teomokole,
jalan sudah agak mulai mendaki
dan agak berkelok-kelok, sehingga kami harus ekstra hati-hati karena di sisi
kanan ruas jalan adalah jurang. Selain itu, menurut penuturan Arif yang sering
ke sana, jalanan rusak dan berlubang akan kami lalui sepanjang perjalanan sampai ke
Tangkeno. 15 menit kami berkendara
setelah melewati Teomokole, lalu kami memutuskan untuk singgah istrahat
sebentar di sebuah jembatan yang
terdapat air terjun di sampingnya. Arif langsung berceletuk kepada saat itu
dengan bahasa kabaenanya “diem da monehako vata roda” yang artinya bahwa ini
lah tempat yang di sebut vata roda itu. Sontak saya agak terkejut… dan berucap
mengunakan bahasa kabaena “ahh..kua bara”!!!...mengingat waktu kecil sering
mendengar cerita mistik tentang keangkeran tempat ini.
|
Singgah beristraha di "vata roda" |
|
Air terjun "vata roda" |
Sambil mendinginkan motor yang kondisinya sudah melai berasap dan terkadang pada saat mendaki tadi, mulai mengeluarkan api dari knalpotnya
sehingga sepanjang jalan menjadi bahan ejekan dan ketawaan Arif, Okto, Ulu dan
Rian. Di tempat ini, Ulu dan Rian sempat
membasuh wajahnya di sungai kecil tersebut yang sudah mulai kusam karena debu.
Sedangkan si Okto, Arief dan Sadril berdiri sambil merengangkan badannya.
|
Desa Rahadopi |
|
Desa Sampala Kambula |
15
menit beristrahat, lalu kami melanjutkan perjalanan lagi. Pendakian dan
kondisi jalan yang rusak masih menjadi hambatan kami. Tidak lama berkendara, kemudian
kami memasuki sebuah perkampungan yang
disebut desa Rahadopi. Sepintas saya
perhatikan di sisi kanan kiri ruas jalan terlihat aktifitas masyarakat yang
sedang menjemur cengkeh di depan rumah masing-masing. Terbesik dalam hati…wahh
sungguh kayanya warga disini..!!!. Berselang 10 menit setelah melewati desa Rahadopi kemudian kami
memasuki parkampungan lagi yakni desa Sampala kambula. Sepintas diperhatikan aktifitas masyarakatnya hampir sama dengan
yang di Rahadopi yakni sedang menjemur cengkeh didepan rumah masing-masing.
|
Cengkeh yang sedang dijemur... |
Setelah melewati kedua desa tersebut,
tentunnya desa terakhir yang akan kami tuju adalah desa Tangkeno. Dari kejauah
desa ini sudah samar-samar terlihat, karena letaknnya yang berada di atas
ketinggian. Namun sudah hampir 20 menit
kami berkendara belum sampai-sampai juga. Sadril yang saya bonceng mulai
bertanya…Kapan sampainya kita ini?. Maklum, selain badan sudah mulai pegal dan
pantat mulai tepos..;D mungkin karena dia ndak sabaran meliat Tangkeno. Entah lahh…mungkin karena
jalan yang berkelok dan mendaki sehingga
perjalanan ini agak terasa lama.
|
Foto dulu didepan pitu gerbang Tangkeno |
Lama
berkendara, akhirnya kami sampai juga di Desa Tangkeno dengan disambut sebuh pintu
gerbang yang bertuliskan “selamat datang di Wonua
Tangkeno”. Hawa sejuk dan dinginnya udara mulai terasa
disini. Kami sempat berhenti sejenak untuk berfoto-foto sambil merengangkan badan yang sudah mulai
encok. 5 menit istrahat, lalu kami pelan-pelan
memacu motor kami dengan kondisi jalan yang sedikit mendaki. Untung pada saat
mulai masuk keperkamupungan jalan sudah
di rabat beton sehingga pendakiannya lancar. Kemudian sampai lah kami di titik tujuan sementara yakni rumah kepala
desa Tangkeno. Kebetulan rumah kepala desanya terletak di sampaing balai
pertemuan yang luas halamannya, sehingga kami leluasa memarkir motor.
|
Memasuki halaman rumah Kepala Desa |
Ohh
iya..jika anda inggin berwisata ke Tangkeno, saya sarankan sebaiknya terlebih
dahulu meminta izin ke Kepala desa atau aparat desa setempat. Selain itu, disini
juga telah disiapkan jasa pemandu lokal
yang siap mengantar anda berkunjung
kebeberapa obyek wisata dan menceritakan tentang kisah desa Tangkeno atau Kabaena pada
umunya.
|
Halama Kantor Kepala Desa Tangkeno |
Suasana
ramai di depan teras kami dapati di
depan rumah sang kapala desa yang terbuat dari rumah kayu beralaskan semen
tersebut. Okto lalu menghampiri salah
seorang warga yang sedang duduk dikursi sambil
memberi salam kemudian menanyakan keberadaan kepala Desa. Dengan raut wajah tersenyum lalu dijawab bahwa kepala desa ada didalam. Dipersilahkanlah
kami masuk dan langsung menuju ruang tamu.
|
Dirumah Kepala Desa |
Kawan
saya Okto sangat dikenal baik disini, selain
karena merupakan asisten ibu Bupati Bombana, dia juga merupakan seorang
master of
ceremony (MC) acara resmi maupun tidak resmi di lingkup pemerintahan
Kab. Bombana. Belum lama ini juga pernah
ke Tangkeno mengisi acara pagelaran seni & budaya masyarakat Kabaena. Kebetulan
juga Ari yg juga anak sang bapak kepala
desa ini, merupakan kawan saya dan Arif
sewaktu kuliah di Makassar dulu, sehingga kami tidak merasa canggung dan asing
di tempat ini.
Asik ngobrol dengan kepala desa, datanglah Juli
adik Ari dari Sikeli bersama mamanya sehingga
menambah serunya cerita. Entah mungkin
karena masih suasana lebaran, dan waktu sudah menunjukan pukul 12.00, lalu kami pun di ajak ke dapur oleh mamanya Ari untuk mencicipi
hidangan makanan yang telah di siapkan. Setelah
selesai makan, saya, arif, okto, ulu,
sadril dan rian pun bergegas ke ruang tamu. Berselang 5 menit kami duduk di kursi sofa, lagi-lagi kami
dihidangkan masing-masing secangkir kopi
dan teh. Sungguh kami sangat berterima
kasih sekali bisa disambut
dengan sangat baik dengan penuh kekeluargaan oleh keularga besar Ari.
|
Makan siang dirumahnya Ari |
Pada
saat asik bercerita, tiba-tiba pandangan saya tertuju di dinding yang memajang
foto-foto keindahan alam dan aktifitas masyarakat desa Tangkeno. Menurut bapak
kepala Desa yang juga merupakan ketua Lembaga Adat Moronene di Kabaena ini,
Foto tersebut merupakan hasil karya dari
beberapa fotografer yang telah berkunjung ke desa Tangkeno dan di pamerkan pada
saat musyawarah adat beberapa lalu. Dari
sekian banyak foto yang saya perhatikan, mata saya tertuju di salah satu foto
yakni air terjun. Maklum saya belum pernah melihatnya selama berada di Kabaena.
Lalu saya menanyakan keberadaan air terjunt tersebut. Dari hasil penuturannya, Ternyata air terjun
tersebut masih berada di wilayah Tangkeno dan jika menuju kesana harus berjalan
kaki selama 4 jam lamanya. Dalam hati pun berkata wahhh….jauh juga
ternyata!!. Air terjun yang diberi nama
“Tondo paa no” tersebut merupakan mata air dari sungai lakambula yang membelah
pulau Kabaena. Menurutnya lagi, air
terjun tersebut mempunyai ketingian sekitar 180 meter. Mengingat dibutuhkan persiapan yang matang untuk menuju ke air
terjut tersebut, sehinggah saya berjanji dalam hati suatu saat nanti saya akan balik lagi kesini
dan pergi ke air terjun tersebut .
Selain itu hal yang belum kesampaian juga
adalah naik di atas puncak gunung Sabampolulu.
|
Foto air terjun ... |
Saya
sangat beruntung pada hari itu karena bisa menyaksikan salah satu prosesi adat
perkawinan masyarakat kabaena yakni “morongo kompe”. sambil berkata dalam hati
juga, kapan yahh..!! saya dibuatkan
prosesi adat seperti itu juga hehehehe….:D. Setelah minim kopi, lalu saya beranjak dari
kursi sambil meminta izin untuk pergi memotret prosesi adat
perkawinan tersebut di ditemani Juli
yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya. Dengan
berjalan kaki, kami menuju rumah yang di
maksud. Di sana, sudah rame warga dan keluarga mempelai laki-laki yang akan mengatar sang pengantin sambil mebawa hasil bumi yang di masukan kedalam “kompe” seperti pisang, beras,
tebu, kelapa buah pinang dan lain-lain menuju balai pertemuan tempat proses adat
perkawinan di laksanakan.
|
Morongo Kompe |
Setelah
menyaksikan prosesi tersebut, Sambil
ditemani Ari dan Juli , lalu kami menuju ke benteng yang tersusun dari batu-batu kali yang
berbentuk segi empat yang oleh masyarakat setempat disebut benteng Tuntu tari. Jaraknya yang agak jauh dari perkampungan
sehingga kami harus berkendara menuju kesana.
|
Pemandangan pada saat Menuju Benteng |
Untuk
menuju benteng Tuntu tari, jalan agak
sedikit mendaki dan sempit sehingga butuh ke hati-hatian yang ekstra. Sebelum menuju kesana, kami terlebih
dahulu singgah membayar retribusi Rp. 5.000/permotor disebuah pos penjagaan. 10
menit berkendara, kami pun sampai di tempat yang dimaksud dengan memarkir motor pas
di kaki benteng, Di sini, ternyata sudah ada
beberapa wisatawan lokal yang sedang asik menikmati pemandangan.
|
Ini dia Benteng Tuntu tari |
|
Melihat gunung Sabampolulo dari dekat... |
|
Pemandangan dari atas benteng |
Dari atas benteng kita dapat menyaksikan gunung kars batu Sangia dari dekat, gunung
sabampolulo, birunya laut pulau kabaena dengan beberapa hamparan pulaunya serta
beberapa perkampungan di kabaena. Pemirsa..!!
janganlah banyangkan benteng ini
seperti benteng Murhum di Buton sana. Benteng ini relatif sangat kecil dan berbentuk segi empat. Ditengah benteng terdapat sebuah pohon
beringin berukuran besar yang hampir
menutupi benteng tersebut sehinggah anda
akan terhindar dari sengatan matahari. Dibenteng ini juga terdapat beberapa
makam, entah makamnya siapa..wallahu alam…. Di tempat ini, mata saya agak terusik melihat sampah yang berserakan yang dibuang sembarang oleh tangan-tangan yang
tidak bertanggung jawab, sehingga sedikit menggangu kenyamanan karena terlihat
kotor.
|
Suasana dalam benteng pada saat berkunjung... |
Hampir
dua jam kami berada di sini dan waktu sudah menunjukan pukul 14.00, kemudian
kami bergegas turun dari benteng tersebut. Namun, terlebih dahulu kami singgah di sebuah tempat pembuatan gula merah “ponahu gola”
yang jaraknya tidak jauh dari benteng. Namun karena tidak bertuan sehingga kami
tidak bisa lama-lama. Hanya Ulu dan Rian hanya sempat minum air gula yang belum masak tersebut. Kemudian kami melanjutkan perjalanan lagi pergi ke sebuah rumah belajar yang baru
bangun dan diresmikan oleh Bupati. Menurut Ari, bentuk desain rumah panggung ini mengambil bentuk rumah orang kabaena pada
zaman dahulu yang termuat dalam buku salah seorang peneliti Belanda. Teriknya matahari
seolah-olah tidak terasa disini, karena dinginnya suhu udara sehinggah membuat
kami betah berleha-leha sambil menyaksikan pemandangan kars batu sangia dari
dekat. Bahkan kami sempat tertidur pulas
di rumah ini.
|
Singgah minum gula aren |
|
Ini dia rumah belajar... |
Waktu
sudah menunjukan pukul 16.00 kami pun bergegas mininggalkan rumah belajar ini lalu
menuju ke rumah bapak kepala desa sekaligus meminta pamit pulang dan
mengucapkan banyak terima kasih atas sambutannya dan khusus Ari dan Juli , makasih telah mengantar
dan menemani kami selama berada Tangkeno. Thaks buat kawan-kawan saya Okto,
Arif, Sadril, Ulu dan Rian yang telah
ikut dalam perjalanan ini. Mudah-mudah suatu saat nanti kami akan bareng-bareng
lagi pergi mengunjungi obyek wisata lainnya yang ada di Pulau Kabaena.